Oleh : Mutia
”Penyakit ini jangan disamakan dengan flu burung yang memiliki angka kematian tinggi. Covid-19 gejala klinisnya ringan, bicara data yang meninggal 3%, kemungkinan sembuhnya 97%," papar anggota Satgas Kewaspadaan & Kesiagaan COVID-19 IDI, dr. Erlina Burhan dalam sebuah konferensi pers di Jakarta. Aku pun semakin penasaran dengan sesuatu bernama COVID-19 yang akhir-akhir ini sering muncul pada berita manapun. Setelah membaca lebih dalam data mingguan pada Morbidity and Mortality Weekly Report yang dirilis oleh Disease Control and Prevention (CDC), COVID-19 merupakan sebuah penyakit yang disebabkan oleh Corona virus yang ditandai dengan munculnya gejala ringan seperti sakit tenggorokan, demam, danbatuk kering yang dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pertolongan medis. Namun, hingga munculnya gejala pada kasus terberat seperti muntah, diare serta diperparah oleh gejala penyakit bawaan membutuhkan pertolongan medis, yaitu sekitar 20% dari penderita yang terpapar Corona Virus.
“Suasana ini tidak begitu genting kan?”, pikirku sambil berlalu mematikan televisi usang di ruang keluarga. Namun pikiranku seketika berubah saat melihat nenekku, yang berusia 67 tahun, sedang duduk di pelataran teras. Sudut kedua matanya penuh keriput dengan sudut bibir terlihat agak miring ke bawah sehingga tidak simetris. Yah, nenekku saat ini mengalami gejala stoke ringan pada usia senjanya diiringi dengan penyakit diabetes mellitus dan hipertensi. Bagaimana kemungkinan terburuk apabila seseorang dengan penyakit komplikasi di usia rentannya terpapar Virus yang “katanya” tergolong tidak mematikan namun dengan tingkat penularan sangat cepat?
Beberapa kemungkinan-kemungkinan terburuk mulai melintasi pikiranku. Ribuan pasien membludak dalam skala yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Dokter dan perawat kelelahan dikarenakan ribuan bahkan jutaan pasien dalam berbagai simptons ringan maupun berat hingga dengan tingkat urgensi penanganan darurat yang datang secara bersamaan. Bangsal-bangsal Rumah Sakit penuh-sesak dengan berbagai fasilitasnya yang terbengkalai. Sampai kepada tahap minimnya supply obat dan alat penunjang terhadap demand yang tak terelakkan. Lalu, masih adakah Rumah Sakit yang tersisa dan dokter yang siap melayani apabila penyakit selain COVID-19, yang juga membutuhkan pelayanan secara tanggap, dibutuhkan oleh orang-orang tersayang di sekitar kita? Tentu tidak, kan?
Padahal, Jeffrey Shaman, seorang profesor di Universitas Columbia, melakukan risetnya terhadap China yang telah memperkirakan sekitar 86% tersebarnya virus tersebut ditularkan oleh sekian banyak subjek tanpa gejala. Studi lain menunjukkan bahwa di China, anggota dalam satu keluarga memiliki gejala mulai dari yang tidak terdeteksi hingga gejala parah. Bahkan, pengujian acak yang dilakukan di Islandia menunjukkan bahwa 50% orang yang dites positif tidak memiliki gejala. Ini artinya penyebaran virus tersebut terjadi secara massive, acak, dan dapat menginfeksi siapapun tanpa pengecualian.
Lalu, bagaimana sikap terbaik untuk menekan dampak terburuk akibat COVID-19 walaupun “katanya” virus tersebut tidak terlalu mematikan? Saat ini, Pemerintah kita menggalakan tentang Physical Distancing dan Social distancing. Dikutip dari laman Kementerian Sekretariat Negara, Physical Distancing merujuk kepada arti menjaga jarak aman antara satu orang dengan orang lainnya baik di dalam maupun di luar rumah. Sedangkan Social Distancing merujuk kepada arti membatasi interaksi sosial yang tidak perlu seperti belajar dari rumah, bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) dan beribadah dari rumah. Dengan begitu, penyebaran virus corona dapat ditekan mengingat tingkat penularannya sangat cepat. Tidak perlu panik! Mencuci tangan secara berkala, menjaga kebersihan & pola hidup sehat merupakan kunci kedua keberhasilan dalam memutus mata rantai penyebaran. Dan yang terakhir, TIDAK melakukan perilaku menimbun barang kebutuhan pokok dan alat penunjang medis lainnya. Mari galakan hastag “Yuk di rumah aja” demi melindungi orang-orang tersayang dan berdoa agar dunia ini segera pulih dan tersenyum kembali