Oleh: Menur Adhiyasasti
Sebagai orang tua milenial, Anda pasti tidak bisa lepas dari media sosial. Namun, pernahkah Anda mendengar tentang challenge atau tantangan yang dilakukan di Facebook, YouTube, WhatsApp, atau Instagram? Salah satu contoh yang mungkin Anda tahu adalah mengunggah foto diri versi manula yang telah diedit melalui aplikasi dan menyebarkannya di media sosial dengan tagar #faceappchallenge. Berjoget menggunakan lagu Baby Shark juga menjadi salah satu tantangan yang populer di kalangan orang tua yang dilakukan bersama balita mereka.
Ini hanya sedikit contoh, namun remaja memiliki jauh lebih banyak challenge yang dapat dilakukan di media sosial tanpa Anda mengetahuinya. Challenge ini dapat berupa tantangan untuk berjoget, menyanyi, membuat video klip, makan, mengungkapkan pendapat, melakukan gerakan tertentu, baik secara sendiri ataupun bersama-sama. Bahkan, ada remaja yang mendadak terkenal di dunia nyata karena video challenge yang dilakukannya disukai oleh masyarakat.
Mengapa remaja menyukai challenge?
Remaja memang suka tantangan, dengan atau tanpa sosial media. Zaman orang tua masih remaja, challenge mungkin terbatas pada tantangan melakukan hal iseng pada guru atau berdiam sendirian di kelas yang terbilang angker. Alasannya, apalagi kalau bukan mendapatkan pengakuan agar popularitasnya “naik kelas”. Kini, remaja bisa mendapatkan pengakuan dan popularitas dari ratusan bahkan ribuan orang di dunia dengan melakukan challenge di media sosial. Likes atau comments yang didapatkannya mampu memenuhi kebutuhannya akan aktualisasi diri dan meningkatkan kepercayaan dirinya.
Adakah manfaatnya?
Bagi remaja, pengakuan dari kelompok sebayanya merupakan hal yang dapat mempengaruhi identitas dirinya. Sebaliknya, penolakan adalah hal yang paling ditakuti oleh remaja. Selain untuk memenuhi kebutuhan diri, challenge juga mampu merekatkan hubungan pertemanan, solidaritas kelompok, mengasah kreativitas, atau untuk alasan hiburan semata. Mungkin orang tua perlu meminta remaja memperlihatkan challenge yang mampu mengocok perut untuk membuktikan bahwa remaja sekarang sangat kreatif.
Adakah challenge yang berbahaya?
Tentu saja ada. Salah satunya adalah Fire Challenge yang dilakukan dengan cara menuangkan cairan yang mudah terbakar ke tubuh, menyulut api, kemudian melompat ke dalam kolam. Cinnamon Challenge dilakukan dengan memakan satu sendok bubuk kayu manis tanpa tambahan air. Keduanya populer di Amerika. Sementara itu, Skip Challenge yang sempat menuai kontroversi di banyak media di Indonesia dilakukan dengan cara menekan dada hingga pingsan yang dapat berujung kematian. Ini belum termasuk Momo Challenge yang mengajak untuk bunuh diri dan 48 Hours Missing Challenge yang membuat orang tua mengira anak mereka benar-benar hilang.
Mengapa remaja melakukan challenge berbahaya?
New York Center For Living, organisasi yang menangani kesehatan mental remaja, menjelaskan bahwa meskipun teknologi sudah berubah drastis sepuluh tahun terakhir, namun perkembangan psikis dan emosi remaja tetap sama seperti dulu. Pusat pengendali logika di otak mereka belum sepenuhnya berkembang. Jadi, terdapat kesenjangan antara teknologi yang canggih dan tingkat kedewasaan remaja. Remaja tidak dapat berpikir, “Jika aku melakukan A, maka akan terjadi B”.
Apa solusinya?
Untuk menghindari remaja melakukan challenge berbahaya, orang tua sebaiknya terlibat dalam kehidupan online remaja, seperti memiliki akun media sosial yang anak miliki. Lebih baik lagi jika anak tidak menolak Anda untuk berteman dengannya. Cara lain yang dapat dicoba adalah berdiskusi tentang perilaku aman dalam bermedia sosial dan menjadi contoh bagi anak dalam menggunakan media sosial. Terakhir, membantu anak menemukan hobi dan menggeluti minatnya juga dapat menyalurkan kebutuhan remaja akan energi dan eksistensinya dengan lebih aman.
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana remaja menggunakan media sosialnya, ajak remaja mengikuti kuis berikut ini.